Thursday, January 19, 2012

Jika Si Anak Selalu Bersikap Bossy..

Seringkali kita melihat anak kecil yang bersikap Bossy tanpa orangtuanya berusaha untuk mengubahnya. Akibatnya anak akan dijauhi oleh teman-temannya karena mereka merasa tidak nyaman dengan gaya bossy anak tersebut. Gayanya yang sok mengatur teman-temannya, dengan berkacak pinggang memerintah teman-temannya untuk melakukan apa yang dia mau membuat teman-temannya tidak suka sehingga memilih menjauhinya. Kalau hal itu dibiarkan terus menerus tentunya akan tidak bagus untuk perkembangan anak itu sendiri. Walaupun begitu orangtua tidak boleh  sembarangan dalam mengatasi sikap bossy anaknya tersebut.
  1. Orangtua harus bersikap tenang dan memberikan penjelasan kepada anaknya tentang perilaku seperti apa yang kita harapkan” Dede, jangan bertolak pinggang dan berteriak memerintah orang lain seperti itu. Sikap seperti itu tidak baik. Kamu bisa kok mengatakan apa yang kamu inginkan pada ibu dengan nada dan sikap yang baik dan sopan.”
  2. Hindari memberikan keinginannya jika ia tidak menunjukkan perilaku yang baik seperti yang kita harapkan.
  3. Pusatkan perhatian pada perilaku yang positif misalnya memberikan pujian ketika anak bersedia berbagi atau bekerjasama dengan orang disekitarnya.

Untuk mengatasi sikap Bossy Anak selain 3 cara diatas bisa diperluas dengan cara
  • Jangan Dipermalukan

Orangtua harus mendukung anak melakukan komunikasi yang baik dan mengendalikan emosinya. misalnya ketika orangtua berbicara harus dengan sikap yang sopan dan nada yang tepat karena bisa jadi anak mendapat kebiasaan bossy itu dari meniru kebiasaan orangtua atau dari orang lain tanpa disadari orangtua. yang perlu diingat janganlah menertawakan, atau mempermalukan anak dengan mengolok-olok sikap bossynya. Orangtua harus tenang dan tegas.
  • Cari Pemicunya

Anak-anak bersikap bossy tentu ada maksud-maksud tertentu dibalik sikapnya itu.
Misalnya:
  1. Pemahaman anak bahwa dengan menunjukkan sikap bossy mereka akan mendapatkan perhatian.
  2. Anak meniru dari lingkungan sekitarnya dan diterapkan karena menganggap hal itu wajar. Misalnya sikap orangtuanya kepada pembantu, Sikap Ayahnya kepada Ibunya, atau oranglain Karena orangtua tidak menegur dan memberikan konsekuensi pada anak ketika anak bersikap bossy sehingga anak menganggap sikap itu benar

  • Hukuman Time-Out

Terapkan Time Out  sesuai dengan usianya dengan membicarakan terlabih dahulu dengan anak tentang konsekuensinya jika anak bersikap Bossy lagi. misalnya dengan memberhentika sementara dari fasilitas yang ida dapatkan dan jelaskan kenapa orangtua menerapkan time out padanya dan meminta anak untuk tidak mengulanginya lagi. Pastikan anak mengerti perilaku bagaimana yang orangtua harapkan dengan menanyakannya” Kalau kamu ingin teman-teman mau bermain bersama kamu bagaimana cara yang baik untuk berbicara dengan teman?” jika anak mengerti ia pasti akan menjawab “berbicara yang baik dan sopan, Ma”
  • Konsisten Dampingi Anak

Agar anak tetap konsisten bersikap baik dan tidak melupakan pesan-pesan orangtuanya, tentunya orangtua juga harus konsisten mendampingi anak saat anak memperbaiki kebiasaannya.
Caranya :
  • Lakukan komunikasi yang hangat, ajak anak membicarakan dampak dari perilaku bOssy yang dia lakukan. Misalnya orang sekitarnya jadi tidak merasa nyaman dan dia jadi dihindari teman-temannya.
  • Gunakan media buku cerita, film edukatif anak, atau dongeng dengan tema yang terkait. dari cerita-cerita tersebut anak dapat memperoleh pemahaman yang tepat tentang cara-cara berinteraksi yang tepat dengan orang lain dan menghindaru sikap Bossy.


Sumber: Tabloid Nova 1206/XXIV/4

Latihan Bersabar Membuat Anak Lebih Cerdas..



Apa yang Anda lakukan ketika anak merengek meminta sesuatu? Langsung memenuhinya daripada ia menangis? Salah. Karena ternyata, perbuatan ini justru berefek negatif pada perkembangan anak. "Sebaiknya latih anak untuk bersabar, dan jelaskan kepadanya bahwa semua hal butuh proses," ungkap konsultan anak Hanny Muchtar Darta, pada saat talkshow dengan tema "Pentingnya Kecukupan Asupan Vitamin dan Mineral agar Anak Incredible"
Selain jadi lebih mengerti kondisi orangtua saat itu, anak juga melatih kesabaran, dan membuat mereka lebih cerdas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Bing Nursery School dari Standford University terhadap anak usia 3-4 tahun, anak yang lebih sabar ternyata lebih cerdas.
Penelitian ini dilakukan dengan memberikan pilihan pada anak untuk mendapatkan sebuah marshmallow secara langsung, atau mendapatkan dua buah marshmallow namun mereka harus menunggu selama 3 menit. Hasilnya, anak-anak yang bersedia bersabar untuk menunggu ternyata lebih cerdas, dan mendapatkan poin Scholastic Assessment Test (SAT), 200 poin lebih tinggi dibanding anak yang tidak mau bersabar. Selain mendapatkan skor SAT yang lebih tinggi, anak-anak ini juga memiliki tingkat emosi, dan kehidupan sosial yang lebih matang dan lebih baik.
"Selain itu, anak yang sabar juga akan lebih menghargai semua hal yang mereka miliki," tukas Hanny. Dengan kesabaran anak untuk menanti berbagai hal yang mereka inginkan, secara tak langsung mereka lebih menghargai barang yang sudah mereka peroleh dengan susah payah dan penuh kesabaran.
Sabar, punya banyak manfaat
Untuk hasil maksimal bagi pertumbuhan anak, sebaiknya latih kesabaran anak sejak dini, yaitu sejak bayi. "Misalnya, ketika akan menyusui katakan padanya untuk menunggu sebentar karena Anda akan mencuci tangan. Selain menjalin komunikasi intim, ini juga akan membiasakan anak untuk sabar menunggu," ujarnya.
Ketika melatih kesabaran anak, Anda juga bisa melatih banyak hal positif dalam waktu bersamaan dan menyenangkan misalnya,  menabung. "Ketika mereka minta dibelikan mainan, ajaklah ia untuk bersabar membelinya dan mulai menabung dalam celengan lucu dengan menyisihkan sedikit uang jajannya untuk membeli mainan itu. Jadi ada tiga manfaat yang bisa diambil sekaligus: sabar, hemat, dan menghargai," sarannya.

Fungsi dan Peran Orang Tua Kepada Anak




Orang tua mempunyai fungsi yang penting dalam keluarga. Diantara fungsi-fungsi tersebut antara lain (dalam Soelaeman, 1987): Pertama, Fungsi religius. Artinya orang tua mempunyai kewajiban memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota lainnya kepada kehidupan beragama. Soelaeman (1987) memberikan penjelasan bahwa untuk melaksanakan Fungsi dan peran ini, orang tua sebagai tokoh inti dalam keluarga itu harus terlebih dahulu menciptakan iklim yang religius dalam keluarga itu, yang dapat dihayati oleh seluruh anggotanya.
Fungsi yang kedua adalah Fungsi edukatif. Pelaksanaan fungsi edukatif keluarga merupakan salah satu tanggung jawab yang dipikul oleh orang tua. Sebagai salah satu unsur pendidikan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama bagi anak. Orang tua harus mengetahui tentang pentingnya pertumbuhan, perkembangan dan masa depan seorang anak secara keseluruhan. Ditangan orang tuanyalah masalah-masalah yang menyangkut anak, apakah dia akan tumbuh menjadi orang yang suka merusak dan menyeleweng atau ia akan tumbuh menjadi orang baik.
Selanjutnya fungsi yang ketiga yakni Fungsi protektif. Soelaeman (1987) memberikan gambaran pelaksanaan fungsi lingkungan, yaitu dengan cara melarang atau menghindarkan anak dari perbuatan-perbuatan yang tidak diharapkan, mengawasi atau membatasi perbuatan anak dalam hal-hal tertentu menganjurkan atau menyuruh mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang diharapkan mengajak bekerja sama dan saling membantu, memberikan contoh dan tauladan dalam hal-hal yang diharapkan.
Fungsi keempat yaitu Fungsi Sosialisasi. Fungsi dan peran orang tua dalam mendidik anaknya tidak saja mencakup pengembangan pribadi, agar menjadi pribadi yang mantap tetapi meliputi pula mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat yang baik. Sehubungan dengan itu perlu dilaksanakan fungsi sosialisasi anak. Melaksanakan fungsi sosialisasi itu berarti orang tua memiliki kedudukan sebagai penghubung anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial, dan membutuhkan fasilitas yang memadai.
Yang terakhir adalah Fungsi ekonomis. Meliputi; pencarian nafkah, perencanaan serta pembelajarannya. Keadaan ekonomi sekeluarga mempengaruhi pula harapan orang tua akan masa depan anaknya serta harapan anak itu sendiri. Orang tua harus dapat mendidik anaknya agar dapat memberikan penghargaan yang tepat terhadap uang dan pencariannya, disertai pula pengertian kedudukan ekonomi keluarga secara nyata, bila tahap perkembangan anak telah memungkinkan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Fungsi dan peran orang tua pada anaknya antara lain menanamkan kehidupan beragama, memberikan pendidikan dalam masa perkembangan anak, menjadi penghubung dalam kehidupan sosial anak, dan memberikan nafkah secara ekonomi demi keberlangsungan anak.

Senantiasa Berkata Baik

oleh Irwan Nuryana Kurniawan.


”Bu, aku jadi ingin tahu, kenapa sih ibu dan ayah sering bilang sayang, shaleh, dan pintar sama aku, adek Hasany dan adek Rasikh?” Tanya Aulia pada ibunya.

“Akh, yang benar, kak?” tanya Ibu seakan tidak percaya.

“ Masa sih, ibu lupa, ya? Setiap kali mengingatkan aku untuk belajar, ibu bilang,”Aulia sayang, ayo sekarang waktunya baca buku pelajaran untuk besok hari. Insyaallah besok menjadi hari-hari yang menyenangkan begitu masuk sekolah karena sudah tahu kira-kira apa yang akan dijelaskan bapak ibu guru. Kalau ada yang belum jelas setelah membaca buku pelajaran hari ini, Mbak Lia kan tinggal meminta penjelasan sama bapak ibu guru. Bisa jadi bahan diskusi di kelas dan suasana kelas menjadi lebih ramai”.

Setiap kali mengajak aku, Hasany, dan Rasikh untuk sholat berjama’ah di mushala rumah, ibu selalu bilang, “Anak-anakku sayang yang shaleh semuanya, alhamdulillaahirabbil’aalamiin sekarang waktunya shalat sudah tiba. Ayo, segera ambil wudhlu, kita mau ketemu sama Allah Subhanahuwata’ala, sayang. Bertemu Allah Ta’ala yang selalu menyayangi kita, selalu melindungi kita, senang mendengarkan dan mengabulkan setiap orang yang berdo’a kepada-Nya.”

”Iya, kakak Lia benar, Bu. Ayah juga begitu, Bu.” Ujar Hasany dan Rasikh bersamaan. ” Coba, hampir setiap hari kan ayah ngirim SMS sama kita,”Rasikh, Hasany, Aulia dan Ibu sayang, sudahkah hari ini membaca Al Qur’an?” Kok pakai kata-kata sayang, sholeh, dan pintar segala? Kenapa sih, Bu? ”

”Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Anak-anak Ibu dan ayah memang sholeh-sholeh dan pintar-pintar semuanya. Senang bertanya, itu bukti nyata dari Allah Ta’ala bagi ibu dan ayah, bahwa kalian memang anak-anak yang pintar. Anak yang pintar itu kan ciri dari anak sholeh dan pasti akan ditinggikan derajatnya oleh Allah Ta’ala.

”Apa yang Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh rasakan setiap kali ibu dan ayah bilang sayang, sholeh, dan pintar?” Ibu balik bertanya sama Aulia.

“Yang jelas aku senang saat dipanggil seperti itu, Bu.” jawab Aulia.

”Benar, Bu. Hasany merasa ibu dan ayah benar-benar sayang sama aku,” jawab Hasany.

”Kalau aku merasa diperhatikan,” jawab Rasikh tidak mau ketinggalan.

”Terus, setelah merasa senang, merasa disayang, dan merasa diperhatikan oleh ibu sama ayah, apa yang muncul dalam pikiran Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh?” tanya Ibu.

”Karena merasa senang, aku pikir aku pasti bisa dan alhamdulillaahirabbil’alaamiin ternyata memang aku bisa mengerjakan dengan baik, Bu. Alhamdulillaah aku jadi pede abis, Bu, percaya diri. Aku jadi lebih bersemangat kalau melakukan sesuatu.”Jawab Aulia

”Aku jadi lebih berani, Bu. Sekarang aku berani , tidak perlu ditungguin Ibu lagi saat aku sekolah. Aku bermain bersama teman-teman. Aku punya banyak teman dan mereka senang main sama aku.”Jawan Hasany

”Kalau Rasikh tambah semangat dan tambah yakin, Bu, Rasikh bisa jadi anak sholeh, pintar dan penyayang seperti yang sering ibu bilang sama Rasikh, Mas Hasany, dan Mbak Lia.”Jawab Rasikh dengan mantap

”Nah, Alhamdulillah, sekarang terjawab toh pertanyaannya, kenapa ibu dan ayah sering berkata-kata sayang, sholeh, dan pintar sama Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh. Kata-kata baik yang ibu dan ayah ucapkan tersebut mempengaruhi perasaan, pikiran, dan perilaku Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh. Perasaan, pikiran, dan perilaku baik yang ditampilkan Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh juga membawa pengaruh baik pula terhadap orang-orang dan lingkungan dimana kita tinggal. Jadi kata-kata baik yang kita ucapkan membawa pengaruh yang baik, bukan hanya pada diri sendiri, keluarga kita, tapi juga pada lingkungan yang lebih luas”

”Ibu jadi ingat sama cerita yang pernah disampaikan ayah saat mengajar di kelas. Sebuah penelitian eskperimen yang dilakukan oleh Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson tahun 1968 pada anak-anak Sekolah Dasar. Mereka berdua memberikan sebuah test kecerdasan pada murid-murid SD tersebut dan kemudian menyampaikan hasilnya pada para guru kelas bahwa sejumlah anak memiliki kecerdasan yang luar biasa (padahal kecerdasan anak-anak tersebut sebenarnya berada pada tingkat kecerdasan rata-rata).

Pada akhir tahun kedua peneliti ini kembali ke SD tersebut dan melakukan pengetesan kembali pada murid-murid SD tersebut. Ternyata hasilnya cukup mengejutkan: anak-anak yang sebenarnya punya kecerdasan rata-rata tapi kemudian diberitahukan sebagai anak-anak dengan kecerdasan luar biasa, menunjukkan peningkatan skor kecerdasan yang lebih tinggi daripada anak-anak lainnya. Para guru kelas di SD tersebut rupanya memberi perlakuan yang lebih kepada anak-anak yang dilabeli kedua peneliti tadi sebagai anak-anak dengan kecerdasan luar biasa: lebih banyak mendapat perhatian, lebih sering mendapat pujian, lebih sering dimintai pendapatnya, dst. Perlakuan lingkungan yang demikian memotivasi anak-anak tersebut untuk menjadi seperti apa yang dilabelkan kepada mereka”

”Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, terima kasih, Bu. Kakak jadi ingat pada pelajaran yang disampaikan pak guru di sekolah. Kata pak guru, Allah Subhanahuwata’ala membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Waktu itu pak guru menjelaskan kalimat yang baik adalah segala ucapan yang menyeru kepada kebajikan, perbuatan yang baik, dan mencegah dari kemungkaran.

Kakak sekarang lebih paham dan merasakan sendiri mengapa Allah Subhanahuwata’ala senang sekali sama hamba-hambanya yang berkata-kata baik. Subbhanallah walhamdulillah walailaha illallah wallahu akbar. Do’ain aku, Hasany, dan Rasik, ya, Bu, ya Yah, untuk lebih bersungguh-sungguh menjauhi perkataan yang buruk dan lebih sering berkata-kata yang baik, biar kita semua baik, orang lain juga baik dan pastinya disayang Allah Subhanahuwata’ala.”

”Allahumma aamiin. Alhamdulillaahi rabbil’aalamiin. Benar, sayang. Apalagi bagi kita sebagai seorang muslim, perkataan yang baik bernilai sedekah dan menjauhkan kita dari kebinasaan. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Sedekah berupa perkataan baik kalau dapat diumpakanan seperti orang yang menginfaqkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.”

Alhamdulillaahirabbil'aalamiin, Prumpung 25 Desember 2011.

Serba-serbi Mengasuh Anak

Oleh Irwan Nuryana Kurniawan.


Apa yang dirasakan teman-teman ketika mengasuh anak? Mungkin ada menjawab biasa saja tuh. Tidak ada yang spesial. Bahkan saking biasanya, mungkin tidak merasakan apa-apa sama sekali. Tahu-tahu, lho anaku wis gedhe. Tahu tahu anaknya wis pacaran dan minta dinikahkan. Hi hi hi.
Mungkin juga ada mengatakan stress. Ya, stress mengasuh anak. Kesal, gonduk, inginnya marah melulu setiap melihat anak. Habis, anaknya "susah" diatur, disuruh belajar tidak mau--ha ha ha, padahal mungkin saja kita dulu seperti itu, lebih parah, kali. Itu baru yang rutin. Ya, rutinitas sehari-hari mengasuh anak.
Intensitas stress biasanya meningkat kalau lagi musim-musim ujian. Apalagi menghadapi mahluk monster yang menyeramkan yang dinamakan Ujian Nasional--begitu sebagian orangtua menyebutnya demikian. Seram karena katanya UN menentukan masa depan anak, begitu katanya--bagi yang kurang sepakat mungkin akan bertanya,"Masa Depan? Masa Depan yang mana? Masa Depan mendapatkan sekolah yang terbaik, yang seringkali dipersempit lagi menjadi sekolah favorit? Memang kalau mendapatkan sekolah favorit, itu akan menjamin kemuliaan anak kita di sisi-Nya, membanggakan kita di hadapan-Nya kelak?.
Semua instansi terkait dalam keluarga--he he he--mulai ayah, ibu, adik, kakak, bibi, mamang, kakek, nenek--ikut riweuh, sibuk. Sibuk ngomeli anake soale ra ngerti melulu setiap kali diajari dan ditemani belajar, sibuk membelalakan mata dan menaikan volume suara setiap kali anak malas mengerjakan latihan soal, sibuk membelikan buku-buku soal latihan biar dilalap habis sama anaknya. Oh iya, hampir lupa, sibuk mengantar anak ke bimbingan belajar--Lho, katanya sekolah favorit, kok masih dikirimkan ke bimbingan belajar, ya?
Mungkin juga ada yang menjawab antusias saat mengasuh anak-anak. Berharap-harap cemas segera pulang ke rumah menemani anak bermain, menjadi kuda tunggangan bagi anaknya, menanyakan dengan penuh rasa ingin tahu apa terjadi seharian dengan mereka, menjawab dengan penuh semangat setiap pertanyaan yang diajukan anak dan kadang-kadang membuat kita terhenyak tidak bisa menjawabnya. Betul-betul tidak bisa menjawabnya.
Saya percaya masih ada banyak jawaban atas pertanyaan tersebut di atas. Bisa campuran jawaban di atas, bisa juga perluasan dari salah satu atau salah dua jawaban di atas. Tentu saja, semua jawaban di atas benar dan tidak mempengaruhi nilai teman-teman semua--ha ha ha jadi ingat belajar konstruksi test tentang panduan pengantar pengisian kuesioner.
Stimulusnya sama, responnya berbeda. Ya, stimulusnya sama, yaitu anak. Tapi ternyata variasi pengasuhan orangtua cukup besar. Mungkin kita perlu melihat kembali visi pengasuhan yang selama ini kita yakini dan membuat kita terjebak pada rutinitas pengasuhan. Mungkin kita perlu mempertanyakan kembali harapan-harapan terhadap anak kita, yang bisa jadi kurang realistis dan tidak sesuai dengan tahapan perkembangannya, sehingga membuat kita rentan mengalami stress pengasuhan dan mensikapi permasalahan pengasuhan dengan kurang tepat. Mungkin kita perlu menguatkan dan memperkaya keterampilan pengasuhan yang sudah dimiliki sehingga kita memiliki resources yang memadai untuk memberi pengasuhan yang terbaik buat anak kita.

Alhamdulillaahirabbil'aalamiin. Prumpung, 9 Desember 2011.

Menumbuhkan Tanggung Jawab Pada Anak Usia Sekolah Dasar

oleh Irwan Nuryana Kurniawan.
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Anak-anak usia sekolah dasar sudah cukup umur untuk belajar bahwa mereka perlu berkontribusi terhadap lingkungan di mana mereka tinggal sebelum mereka mengharapkan dihargai. Inilah saatnya untuk membantu mereka belajar pentingnya pelajaran tanggung jawab.

Kebanyakan keluarga memberikan tugas rumah kepada setiap anak, tetapi hampir separuhnya berlangsung dengan pertarungan. Sangat penting untuk memastikan bahwa anak-anak kita mengikuti dan mengerjakan apa yang kita minta mereka melakukannya. Jika mereka disarankan untuk meletakkan pakaian kotor ke dalam keranjang dan mereka tidak melakukannya, apakah kita mengambilnya dari lantai dan melemparkannya ke dalam mesin cuci? Jika mereka disarankan untuk membersihkan piring makan malam mereka setelah selesai makan tetapi mereka melarikan diri, adakah waktu bagi kita untuk mengingatkan mereka untuk melakukan hal tersebut tadi? Atau kita mengambil alih semuanya, mengerjakannya sendirian?

Cobalah diingat seberapa sering kita membiarkan anak-anak kita mengabaikan tanggung jawabnya. Jika itu sering, ini saat yang baik untuk bersungguh-sungguh dalam berharap dan konsekuensi. Karena pakaian kotor menumpuk, anak-anak kita pasti akan menghadapi konsekuensi ketiadaan pakaian untuk sekolah. Jika kita membiarkan piring kotor di meja makan berjam-jam setelah semua piring lainnya dicuci, anak-anak kita akan secara kongkrit melihat konsekuensi dari kurangnya tanggung jawab mereka.

Jika anak-anak kita tetap menghindari tugas atau berdebat tentang tugas yang harus dia kerjakan, jangan mudah menyerah. Pertama, kita bisa mengevaluasi jadwal tugasnya. Ketika seorang anak mengetahui bahwa dia harus membereskan tempat tidurnya setiap pagi, ini menjadi bagian dari rutinitas harian—bukan sesuatu yang dia bisa mengatakan“lupa.“ Jika kita ingin anak-anak kita menyapu lantai dapur setiap harinya, jadwalkan hal tersebut ke dalam jadwal harian sebagaimana kita akan berlatih sepakbola: setelah makan malam selesai, lantai disapu. Memiliki tugas terjadwal membuat tugas bisa diharapkan, bukan dikecualikan.

Kedua, kita bisa memeriksa apakah jadwal tugasnya masuk akal. Jika anak-anak kita memiliki banyak tuntutan lainnya seperti pekerjaan rumah dari sekolah dan latihan olahraga, musik, atau tari, mereka mungkin menolak menggunakan waktu luangnya untuk mengerjakan tugas tersebut. Mereka juga memerlukan waktu santai harian. Jadi, pastikan bahwa bertanggung jawab tidak selalu berarti membuat mereka menjadi kelelahan.

Sementara kita menyusun kembali jadwal tugas anak-anak, cobalah untuk mewaspadai sikap yang ditampilkan keluarga kita terhadap tugas. Jika tugas diberikan sebagai hukuman, anak-anak kita tidak akan pernah menghubungkan pentingnya mengerjakan tugas sebagai jenis isyarat untuk menolong orang lain. Jika kita sendiri mengomel dan mengeluhkan beban kerja kita, maka anak-anak kita dengan cepat akan mengambil sikap negatif yang sama. Jika kita memberikan perintah dengan membentak, anak kita akan mengerjakan tugas penuh dengan ketakutan.

Tugas-tugas harusnya tidak dihubungkan dengan kemarahan dan kebosanan jika kita duduk bersama dengan anak-anak kita dan menjelaskan arti penting tugas tersebut. Buatlah sebuah pertemuan keluarga untuk membicarakan perlunya setiap orang untuk siap mengerjakan tugas-tugas rumah di tengah-tengah kesibukan semuanya. Bicarakan tentang segala hal yang perlu di selesaikan (seperti mengumpulkan kertas untuk diolah kembali, memberi makanan hewan peliharaan, dan menata meja makan), dan berikan mereka kesempatan untuk memilih tugas dan waktu yang mereka ingin melakukannya setiap hari.

Pastikan anak-anak kita memahami bahwa kita membutuhkan bantuan mereka dan kita mengapresiasi keinginan mereka untuk terlibat di dalamnya. Kemudian pastikan bahwa kita tersenyum ketika sedang mengerjakan tugas kita sendiri.
Mengajari anak-anak rasa tanggung jawab lebih dari sekedar mendistribusikan beban pekerjaan rumahtangga. Ini melengkapi mereka dengan perasaan bahwa mereka bisa diandalkan, bisa dipercaya, dan memiliki kapabilitas yang akan berguna kelak ketika mereka memasuki dunia kerja.

Pengasuhan untuk Mendorong Tanggung Jawab
- Ketika kita memberikan tugas rumah, ikuti untuk memastikan anak-anak kita benar-benar melakukannya
- Biarkan anak-anak kita melihat konsekuensi dari kurangnya tanggung jawab mereka
- Buatlah sebuah jadwal tugas harian yang bisa diprediksikan
- Lihatlah sikap yang ditampilkan oleh keluarga kita terkait pekerjaan
- Berikan anak-anak kita kesempatan untuk memilih tugas harian dan waktu yang mereka suka untuk melakukannya
- Tetap positif dan suportif ketika memberikan tugas
- Tersenyum ketika kita mengerjakan tugas kita sendiri
- Putuskan bagaimana keluarga kita memberikan penghargaan bagi mereka yang mengerjakan tugas dengan baik

Hindari
- Mengerjakan sendiri yang menjadi tugas-tugas anak-anak kita
- Memberikan tugas yang berlebihan sehingga anak tidak memiliki waktu santai untuk dirinya sendiri
- Memberikan tugas sebagai hukuman
- Menggerutu dan mengeluhkan pekerjaan kita sendiri
- Merasa kita harus menyuap anak-anak kita dengan uang atau hadiah lainnya agar mereka mengerjakan tugasnya

Alhamdulillaahirabbil'aalamiin. Prumpung, 20 Januari 2012

Sunday, January 8, 2012

Menumbuhkan Perilaku Menghargai Pada Anak-anak

oleh Irwan Nuryana Kurniawan.
Diriwayatkan oleh Hakim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’Alaihi Wasallam bersabda,”Jauhkanlah dirimu dari wanita-wanita orang lain, niscaya wanita-wanitamu akan menjaga kesuciannya. Dan berbaktilah kepada orangtuamu, niscaya anak-anakmu akan berbakti kepadamu”.

Hadis ini menekankan apabila kita menghendaki anak-anak berbakti kepada kita, hendaknya kita menjadi contoh pertama dan utama bagaimana berbakti kepada orangtua kita. Bahwa bakti kita kepada orangtua mempunyai pengaruh besar terhadap bakti anak kepada kita.

Perilaku menghargai dipelajari lewat menyaksikan perilaku-perilaku orang lain. Menghargai dipelajari lewat contoh setiap menit setiap harinya. Untuk belajar menghargai, anak-anak pertama kali harus dihargai. Jika kita menginginkan anak-anak kita memperlihatkan penghormatan kepada orangtua, penting untuk menunjukkan kepada mereka bahwa kita juga menghormati dan bersikap positif terhadap diri sendiri maupun orang lain.

 
Sebagai orangtua dan pendidik, kita dapat melakukan banyak hal untuk mencontohkan dan mengajarkan kepada anak-anak bagaimana menunjukkan penghargaan kepada orang lain, baik kepada yang lebih tua, kepada yang lebih muda, maupun kepada yang sebaya.

Meminta maaf
Meminta maaf kepada orang lain, terutama kepada orangtua, ketika melakukan kesalahan merupakan perilaku terpuji seorang anak kepada orangtua. Perilaku terpuji ini akan lebih mudah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam diri seorang anak ketika kita sebagai orangtua melakukan hal yang sama. ”Aulia sayang, ayah minta maaf ya. Maksud ayah meminta kakak melakukan seperti itu agar kakak terbiasa mengerjakan sesuatu dengan tahapan yang benar. Membiasakan berpikir dan bekerja secara runtut, sehingga kesalahan dalam menjawab soal bisa dihindari. Doa’akan ayah ya sayang ayah bisa menyampaikan dengan lebih baik.”

Meminta maaf kepada anak-anak ketika kita keliru menangani sebuah situasi atau menyakiti perasaan anak-anak kita. Mengatakan kepada anak-anak bahwa kita menyesal. Meminta maaf secara khusus dan tulus menunjukkan kepada anak-anak bahwa kita menghargai perasaan-perasaan mereka dan merasa menyesal atas perilaku kita. Ini merupakan sebuah cara yang baik untuk memperlihatkan bahwa melakukan dan mengakui kesalahan itu sesuatu yang baik. Ini akan membawa kita lebih dekat dengan kasih sayang, memahami, dan percaya.

Mengucapkan terima kasih
Mengucapkan terima kasih kepada orang lain, apalagi kepada orangtua, untuk semua kebaikan yang kita terima setiap waktu merupakan contoh lain dari berbakti kepada orangtua. ” Terima kasih Hasany dan Rasikh sayang, sudah bersemangat bantuin ibu dan kakak menjemur pakaian.”

Anak-anak akan terbiasa mengucapkan terima kasih kepada orangtua ketika mereka menyaksikan dan mengalami sendiri bagaimana orangtua mereka mengucapkan terima kasih kepada pasangannya, anak-anaknya, maupun orang lain ketika mereka menerima kebaikan atau pekerjaan dilakukan dan diselesaikan dengan sungguh-sungguh.

Membiasakan mengucapkan terima kasih menunjukkan bahwa kita menyadari kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan orang lain. Bahwa kita perduli terhadap orang lain.

Bersikap sopan dan hormat ketika meminta seseorang melakukan sesuatu .
Meminta sesuatu kepada orangtua dengan sikap sopan dan hormat merupakan contoh lain berbakti kepada orangtua. Perilaku berbakti tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam diri anak-anak kita ketika kita mencontohkan kebiasan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. ” Ibu lihat mbak Lia lagi santai, ya. Ibu minta tolong kakak Lia beliin beras di warung Pak Saijo, ya. Ibu baru tahu ternyata persediaan beras kita sudah habis. Terima kasih sayang.”

Anak-anak yang dihormati oleh teman-teman mereka adalah anak-anak yang mengkomunikasikan secara jelas bahwa mereka menuntut penghormatan kepada diri mereka sendiri. Ketika dihadapkan sebuah gangguan, seorang anak yang asertif dapat secara tegas menyatakan keyakinannya tanpa menggunakan ancaman, panggilan jelek atau bahasa yang menjatuhkan lainnya.

Mendorong anak-anak untuk menghargai diri mereka sendiri dan orang lain insyaallah akan menghilangkan ketidakadilan, kebencian, dan kekerasan. Mari penghargaan ini perlu kita mulai dari rumah kita.

Alhamdulillaahirabbil'aalamiin.

Prumpung, 29 Desember 2011.

Jebakan " Tidak Pernah" dan "Selalu"...?

oleh Irwan Nuryana Kurniawan.
"Alkisah. Ibu guru TK merasa mempunyai persoalan pada salah satu anak didik di TK tempat beliau mengajar. Setiap kali melakukan tugas, dia tidak pernah dapat diselesaikan. Dia selalu tertiggal dengan teman-temannya dan bahkan tidak mampu mengerjakannya dengan baik sesuatu yang seharusnya bisa dilakukan untuk anak seusia dia (5 th). Dia gampang sekali berkata “Capek Bu …”, “Kesel Bu …”, “Aku kerjakan di rumah saja Bu …”, sebagai alasan."

Ada beberapa hal yang perlu kita jawab lebih dahulu. Pertama, benarkah anak tersebut TIDAK PERNAH menyelesaikan tugasnya? Jika ya, berarti selama menjadi siswa di TK, anak didik tersebut satu kalipun sama sekali belum pernah mengerjakan tugasnya secara tuntas.

Tidakkah dia sesungguhnya pernah sekali atau dua kali mengerjakan tugas yang sangat sederhana sampai selesai, namun belum sesuai dengan harapan kita? Kedua, benarkah anak tersebut SELALU tertinggal dibandingkan teman-temannya? Apakah dia SELALU nomor terakhir untuk semua aktivitas yang diikutinya? Tidakkah dia pernah nomor dua, tiga, empat dari belakang atau bahkah lebih baik untuk aktivitas tertentu?

Pemakaian kata TIDAK PERNAH dan SELALU untuk aktivitas yang dilakukan siapapun, apalagi anak-anak, perlu dilakukan dengan sangat hati-hati. Pemakaian kata TIDAK PERNAH dan SELALU menggambarkan seolah-olah sang anak tidak pernah sedikitpun menunjukkan kemajuan ataupun perbaikan dari aktivitas yang dilakukannya. Seolah-olah tidak ada satupun yang bisa dibanggakan dari sang anak.

Jika ini terus menerus dilakukan, dampaknya sangat berbahaya. Bagi guru maupun bagi anak. Guru akan mudah sekali menderita stress karena tidak mampu secara objektif melihat kemajuan/perubahan, meskipun hanya sedikit, yang ditunjukkan sang anak. Sementara sang anak akan merasa tidak ada satu pun yang membanggakan dari dirinya. Tidak ada yang mengapresiasi atas sedikit kemajuan/perubahan yang ditunjukkannya. Ini membahayakan self esteem (harga diri) anak.

Pada tingkatan tertentu anak akan mengembangkan ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness). Anak akan sampai pada keyakinan bahwa apapun yang dia lakukan tidak akan mengubah apa-apa. Sekeras apapun usaha yang dia tunjukkan, lingkungan akan selalu menganggap dirinya tidak mampu dan tidak layak.

Mungkin langkah terbaik yang bisa kita lakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah mencari tahu mengapa anak berperilaku demikian. Cara terbaik adalah mengajak anak yang bersangkutan berbicara dari hati-ke-hati. Dari pembicaraan tersebut akan muncul banyak sekali informasi, kadang-kadang di luar dugaan kita, mengapa dia merasa capek, bosan, atau ogah-ogahan mengikuti aktivitas kelas yang kita selenggarakan.

Mungkin saja secara objektif anak yang bersangkutan saat itu memang kondisi tubuhnya sedang tidak enak badan. Mungkin juga secara objektif anak memang merasa aktivitas yang diikutinya membosankan—monoton. Mungkin juga secara objektif anak menilai aktivitas-aktivitas yang harus dilakukannya terlalu banyak dan tidak tahu nilai/keterampilan apa yang akan mereka dapat dari seabrek aktivitas tersebut. Apalagi aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan tanpa ada unsur bermain. Dan masih banyak kemungkinan objektif lainya—tergantung keahlian kita dalam menggali informasi yang bermakna dari mulut anak.

Langkah selanjutnya adalah mencari berbagai pilihan penyelesaian yang relevan dengan akar permasalahannya. Berbagai pilihan penyelesaian tersebut kemudian kita coba untuk diketahui apakah efektif atau tidak dalam menyelesaikan permasalahan. Efektif tidaknya pilihan yang diterapkan tersebut akan memberi umpan balik yang sangat berharga bagi kita maupun anak-anak.

Di tahapan inilah kita perlu sekali untuk memberikan apresiasi terhadap setiap kemajuan/perubahan yang ditunjukkan oleh anak. Meskipun hanya satu tingkat, misal dari peringkat 30 (terbawah) naik menjadi 29. Di tahapan ini pula kita sebagai guru perlu mencari tahu lebih lanjut hal-hal apa saja yang mungkin berperan mengapa percepatan perubahan yang ditunjukkan sang anak belum sesuai dengan target yang kita tetapkan.

Alhamdulillaahirabbil'aalamiin. Prumpung, 30 Desember 2011