Tuesday, August 20, 2013

Orang yang diancam Pacarnya yang Posesif


posesif


Berikut tanya jawab tentang Orang yang diancam Pacarnya yang Posesif

T : gw cowok sedang lanjutin kuliah s2 di salah satu universitas swastadi jakarta,
gw ada masalah yang sangat mengganggu kehidupan gw sebagai mahasiswa. gw punya pacar yang sangat posesif dan egois banget, setiap saat dia senggang gw harus sama doi, tapi kalau gw lagi sibuk n gak bisa untuk sama dia, dia bakal marah2,maki2,bahkan cenderung mengancam kalau dia bakal samperin gw (di kampus misalnya) dan akan mempermalukan gw!! hal ini udah sering doi buktikan, sampai akhirnya gw mesti bersikap nurut2 aja ama doi,,
oya,do udah bekerja di salah satu departemen di jakarta, tapi doi emang gak mau bertemen ama temen2nya…
gw udah berkali2 omongin hal ini ke doi secara baik2, tapi tetep aja, paling tobat sehari atau dua hari, selesai itu ngulah lagi…
gw udahjuga minta putus, tapi doi gak mau, dia ngancem bakal ngerusak masa depan gw kalo bikin dia sakit hati dengan cara diputusin…

gw pusing, malah lama2 gw bisa stres kalo mikir hal ini. parahnya gw takut hal ini ngeganggu kuliah gw…

tolong kasih gw solusi ya…pleaze…:-<

J : Saudara Imam yang lagi pusing,

Jangan sampai stress ya. Sebetulnya masalah ini bisa dipecahkan jika Saudara memahami apa yang sedang terjadi.

Dari cerita Saudara, sepertinya Saudara sedang menjadi korban emotional blackmail yang dilakukan oleh pacar saudara. Dalam kasus ini terdapat tiga unsur, yaitu:

Fear: sang pacar menimbulkan rasa takut dalam diri Saudara dengan ancaman
Guilt: Saudara merasa berdosa jika menolak keinginan sang pacar
Obligation: akhirnya Saudara memenuhi apa yang dia inginkan

Kira-kira beginilah yang terjadi:

Pacar Saudara meminta sesuatu (ingin selalu ditemani)
Saudara menolak
Pacar Saudara membujuk dan mengancam Saudara
Karena takut atau merasa bersalah jika menolak, Saudara memenuhi kehendaknya
Kembali ke nomor (1)

Siklus ini akan berulang terus karena pacar Saudara menyadari bahwa dengan mengancam Saudara dia akan mendapat apa yang dia inginkan. Saya bisa perkirakan bahwa Saudara pastilah orang yang memiliki empati tinggi, sehingga tidak tega untuk meninggalkan pacar Saudara. Apalagi menurut pengakuannya dia tidak berteman dengan teman-teman di departemennya. Tentu Saudara jadi makin “kasihan” dan susah untuk memutus hubungan.

Sekarang solusinya ada di tangan Saudara sendiri. Ketahuilah bahwa siklus seperti ini akan selalu berulang. Jadi, Saudara akan selalu diancam, dan pada akhirnya Saudara akan mengikuti segala kehendaknya. Mampukah Saudara bertahan? Apakah Saudara menerima perlakuan seperti ini? Sebetulnya, mengapa Saudara memilih untuk pacaran dengannya?

Jika hati Saudara sudah bulat untuk melepaskannya, maka katakan “putus” sekarang juga dan hadapi segala konsekuensinya. Sang pacar mengancam akan “menghancurkan masa depan” Saudara? Bagaimana caranya? Saya rasa Saudara akan baik-baik saja.

Jika Saudara masih ingin tetap bersamanya, tetapi tidak bisa menerima sifat posesifnya, saya sarankan Saudara berdua melakukan konsultasi rutin dengan psikolog (bertemu langsung, bukan online seperti ini). Masalah ini timbul karena pacar Saudara saat ini merupakan orang yang insecure.

Saya harap penjelasan singkat di atas dapat membantu.

By: konsultasipsikologi.com

Solusi untuk Orang yang Pelupa setelah Menikah


Berikut tanya jawab tentang kasus orang yang pelupa setelah menikah, 

T : Saya seorang karyawati di sebuah perusahaan nasional di Surabaya, berusia 23 tahun. Setelah saya menikah bulan Oktober yang lalu, entah apa yang terjadi pada diri saya. Beberapa dari teman saya bahkan menyebut saya ‘berada di dunia lain’.
Hal-hal kecil yang tak saya sadari selalu terjadi. Sebagai contoh, saya mengantongi 2 buah kunci rumah saat ke kantor. Suami saya marah karena dia terkunci dalam rumah. Padahal sebelum saya meninggalkan rumah, saya ingat saya hanya membawa 1 kunci. Contoh yang lain, saya bisa lupa dengan barang yang saya letakkan 5 menit lalu. Padahal selama ini saya dikenal teman-teman sebagai orang yang kuat daya ingatnya. Apakah saya mulai pelupa? Apa yang terjadi pada diri pribadi saya? Mengapa saya bisa mengalami hal ini?

J : Saudari Lina yang sedang bingung,

Saya lihat Saudari merupakan orang yang cukup kritis dan mampu berpikir logis. Hal ini bisa dilihat dari kemauan Saudari untuk mencari pertolongan (sehingga bisa sampai di www.konsultasipsikologi.com) dan cara penyampaian permasalahan.

Saudari Lina telah menjelaskan persoalan yang dihadapi secara singkat, dan diakhiri dengan bertanya “apa sebabnya”. Mari kita telaah bersama.

Permasalahan Saudari berawal sejak pernikahan pada bulan Oktober yang lalu. Berarti ini adalah penyebab utama persoalan. Ada dua kemungkinan:
1. penyebabnya adalah faktor pernikahan
2. penyebabnya adalah faktor non-pernikahan

Namun, berdasarkan cara Saudari Lina menyampaikan masalahnya, saya beranggapan bahwa masalah ini disebabkan oleh faktor pernikahan. Memang pernikahan adalah event besar dalam hidup seseorang, dan tidak jarang hal ini akan berpengaruh terhadap karakternya.

Hal-hal yang Saudari ceritakan (lupa kunci rumah, lupa meletakkan barang) menunjukkan bahwa Saudari sudah mulai “pelupa”. Manusia bisa menjadi “pelupa” secara alami (faktor usia) atau tidak alami (faktor pikiran). Pikiran yang melayang-layang akan menyebabkan kita tidak konsentrasi, sehingga pikiran tidak fokus terhadap hal yang sedang dikerjakan atau lingkungan sekeliling. Akibatnya kita menjadi “pelupa”.

Saudari Lina masih sangat muda, baru 23 tahun. Pasti masalah lupa ini bukan disebabkan oleh faktor usia. Berarti ada FAKTOR PIKIRAN yang mengganggu kemampuan Saudari untuk fokus terhadap apa yang sedang dikerjakan. Faktor pikiran ini seringkali berada di alam bawah sadar: sesuatu yang selalu Saudari pikirkan tanpa sadar dan kadang terbawa mimpi. Hal ini bisa berupa banyak hal: ketakutan Saudari terhadap suatu hal, keinginan terpendam yang tidak bisa terwujud, penyesalan, rasa rendah diri, rasa tidak puas, dan masih banyak lagi.

Karena permasalahan ini dimulai sejak Saudari menikah, dan gejala “pelupa” ini disebabkan oleh faktor pikiran, berarti ada sesuatu dalam pernikahan Saudari yang selalu menjadi bahan pikiran Saudari (secara tidak sadar). Apakah suami Saudari? Mertua, lingkungan, anak, masa depan, atau hal lainnya?

Ini tidak bisa saya jawab, karena Saudari tidak menjelaskan apapun mengenai pernikahan Saudari. Dunia ini berjalan mengikuti hukum sebab-akibat. Jika ada akibat, pasti ada sebabnya. Saya menunggu penjelasan Saudari mengenai pernikahan Saudari dan hal-hal apa yag menjadi bahan pikiran selama enam bulan terakhir ini.

By: konsultasipsikologi.com

Thursday, January 19, 2012

Jika Si Anak Selalu Bersikap Bossy..

Seringkali kita melihat anak kecil yang bersikap Bossy tanpa orangtuanya berusaha untuk mengubahnya. Akibatnya anak akan dijauhi oleh teman-temannya karena mereka merasa tidak nyaman dengan gaya bossy anak tersebut. Gayanya yang sok mengatur teman-temannya, dengan berkacak pinggang memerintah teman-temannya untuk melakukan apa yang dia mau membuat teman-temannya tidak suka sehingga memilih menjauhinya. Kalau hal itu dibiarkan terus menerus tentunya akan tidak bagus untuk perkembangan anak itu sendiri. Walaupun begitu orangtua tidak boleh  sembarangan dalam mengatasi sikap bossy anaknya tersebut.
  1. Orangtua harus bersikap tenang dan memberikan penjelasan kepada anaknya tentang perilaku seperti apa yang kita harapkan” Dede, jangan bertolak pinggang dan berteriak memerintah orang lain seperti itu. Sikap seperti itu tidak baik. Kamu bisa kok mengatakan apa yang kamu inginkan pada ibu dengan nada dan sikap yang baik dan sopan.”
  2. Hindari memberikan keinginannya jika ia tidak menunjukkan perilaku yang baik seperti yang kita harapkan.
  3. Pusatkan perhatian pada perilaku yang positif misalnya memberikan pujian ketika anak bersedia berbagi atau bekerjasama dengan orang disekitarnya.

Untuk mengatasi sikap Bossy Anak selain 3 cara diatas bisa diperluas dengan cara
  • Jangan Dipermalukan

Orangtua harus mendukung anak melakukan komunikasi yang baik dan mengendalikan emosinya. misalnya ketika orangtua berbicara harus dengan sikap yang sopan dan nada yang tepat karena bisa jadi anak mendapat kebiasaan bossy itu dari meniru kebiasaan orangtua atau dari orang lain tanpa disadari orangtua. yang perlu diingat janganlah menertawakan, atau mempermalukan anak dengan mengolok-olok sikap bossynya. Orangtua harus tenang dan tegas.
  • Cari Pemicunya

Anak-anak bersikap bossy tentu ada maksud-maksud tertentu dibalik sikapnya itu.
Misalnya:
  1. Pemahaman anak bahwa dengan menunjukkan sikap bossy mereka akan mendapatkan perhatian.
  2. Anak meniru dari lingkungan sekitarnya dan diterapkan karena menganggap hal itu wajar. Misalnya sikap orangtuanya kepada pembantu, Sikap Ayahnya kepada Ibunya, atau oranglain Karena orangtua tidak menegur dan memberikan konsekuensi pada anak ketika anak bersikap bossy sehingga anak menganggap sikap itu benar

  • Hukuman Time-Out

Terapkan Time Out  sesuai dengan usianya dengan membicarakan terlabih dahulu dengan anak tentang konsekuensinya jika anak bersikap Bossy lagi. misalnya dengan memberhentika sementara dari fasilitas yang ida dapatkan dan jelaskan kenapa orangtua menerapkan time out padanya dan meminta anak untuk tidak mengulanginya lagi. Pastikan anak mengerti perilaku bagaimana yang orangtua harapkan dengan menanyakannya” Kalau kamu ingin teman-teman mau bermain bersama kamu bagaimana cara yang baik untuk berbicara dengan teman?” jika anak mengerti ia pasti akan menjawab “berbicara yang baik dan sopan, Ma”
  • Konsisten Dampingi Anak

Agar anak tetap konsisten bersikap baik dan tidak melupakan pesan-pesan orangtuanya, tentunya orangtua juga harus konsisten mendampingi anak saat anak memperbaiki kebiasaannya.
Caranya :
  • Lakukan komunikasi yang hangat, ajak anak membicarakan dampak dari perilaku bOssy yang dia lakukan. Misalnya orang sekitarnya jadi tidak merasa nyaman dan dia jadi dihindari teman-temannya.
  • Gunakan media buku cerita, film edukatif anak, atau dongeng dengan tema yang terkait. dari cerita-cerita tersebut anak dapat memperoleh pemahaman yang tepat tentang cara-cara berinteraksi yang tepat dengan orang lain dan menghindaru sikap Bossy.


Sumber: Tabloid Nova 1206/XXIV/4

Latihan Bersabar Membuat Anak Lebih Cerdas..



Apa yang Anda lakukan ketika anak merengek meminta sesuatu? Langsung memenuhinya daripada ia menangis? Salah. Karena ternyata, perbuatan ini justru berefek negatif pada perkembangan anak. "Sebaiknya latih anak untuk bersabar, dan jelaskan kepadanya bahwa semua hal butuh proses," ungkap konsultan anak Hanny Muchtar Darta, pada saat talkshow dengan tema "Pentingnya Kecukupan Asupan Vitamin dan Mineral agar Anak Incredible"
Selain jadi lebih mengerti kondisi orangtua saat itu, anak juga melatih kesabaran, dan membuat mereka lebih cerdas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Bing Nursery School dari Standford University terhadap anak usia 3-4 tahun, anak yang lebih sabar ternyata lebih cerdas.
Penelitian ini dilakukan dengan memberikan pilihan pada anak untuk mendapatkan sebuah marshmallow secara langsung, atau mendapatkan dua buah marshmallow namun mereka harus menunggu selama 3 menit. Hasilnya, anak-anak yang bersedia bersabar untuk menunggu ternyata lebih cerdas, dan mendapatkan poin Scholastic Assessment Test (SAT), 200 poin lebih tinggi dibanding anak yang tidak mau bersabar. Selain mendapatkan skor SAT yang lebih tinggi, anak-anak ini juga memiliki tingkat emosi, dan kehidupan sosial yang lebih matang dan lebih baik.
"Selain itu, anak yang sabar juga akan lebih menghargai semua hal yang mereka miliki," tukas Hanny. Dengan kesabaran anak untuk menanti berbagai hal yang mereka inginkan, secara tak langsung mereka lebih menghargai barang yang sudah mereka peroleh dengan susah payah dan penuh kesabaran.
Sabar, punya banyak manfaat
Untuk hasil maksimal bagi pertumbuhan anak, sebaiknya latih kesabaran anak sejak dini, yaitu sejak bayi. "Misalnya, ketika akan menyusui katakan padanya untuk menunggu sebentar karena Anda akan mencuci tangan. Selain menjalin komunikasi intim, ini juga akan membiasakan anak untuk sabar menunggu," ujarnya.
Ketika melatih kesabaran anak, Anda juga bisa melatih banyak hal positif dalam waktu bersamaan dan menyenangkan misalnya,  menabung. "Ketika mereka minta dibelikan mainan, ajaklah ia untuk bersabar membelinya dan mulai menabung dalam celengan lucu dengan menyisihkan sedikit uang jajannya untuk membeli mainan itu. Jadi ada tiga manfaat yang bisa diambil sekaligus: sabar, hemat, dan menghargai," sarannya.

Fungsi dan Peran Orang Tua Kepada Anak




Orang tua mempunyai fungsi yang penting dalam keluarga. Diantara fungsi-fungsi tersebut antara lain (dalam Soelaeman, 1987): Pertama, Fungsi religius. Artinya orang tua mempunyai kewajiban memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota lainnya kepada kehidupan beragama. Soelaeman (1987) memberikan penjelasan bahwa untuk melaksanakan Fungsi dan peran ini, orang tua sebagai tokoh inti dalam keluarga itu harus terlebih dahulu menciptakan iklim yang religius dalam keluarga itu, yang dapat dihayati oleh seluruh anggotanya.
Fungsi yang kedua adalah Fungsi edukatif. Pelaksanaan fungsi edukatif keluarga merupakan salah satu tanggung jawab yang dipikul oleh orang tua. Sebagai salah satu unsur pendidikan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama bagi anak. Orang tua harus mengetahui tentang pentingnya pertumbuhan, perkembangan dan masa depan seorang anak secara keseluruhan. Ditangan orang tuanyalah masalah-masalah yang menyangkut anak, apakah dia akan tumbuh menjadi orang yang suka merusak dan menyeleweng atau ia akan tumbuh menjadi orang baik.
Selanjutnya fungsi yang ketiga yakni Fungsi protektif. Soelaeman (1987) memberikan gambaran pelaksanaan fungsi lingkungan, yaitu dengan cara melarang atau menghindarkan anak dari perbuatan-perbuatan yang tidak diharapkan, mengawasi atau membatasi perbuatan anak dalam hal-hal tertentu menganjurkan atau menyuruh mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang diharapkan mengajak bekerja sama dan saling membantu, memberikan contoh dan tauladan dalam hal-hal yang diharapkan.
Fungsi keempat yaitu Fungsi Sosialisasi. Fungsi dan peran orang tua dalam mendidik anaknya tidak saja mencakup pengembangan pribadi, agar menjadi pribadi yang mantap tetapi meliputi pula mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat yang baik. Sehubungan dengan itu perlu dilaksanakan fungsi sosialisasi anak. Melaksanakan fungsi sosialisasi itu berarti orang tua memiliki kedudukan sebagai penghubung anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial, dan membutuhkan fasilitas yang memadai.
Yang terakhir adalah Fungsi ekonomis. Meliputi; pencarian nafkah, perencanaan serta pembelajarannya. Keadaan ekonomi sekeluarga mempengaruhi pula harapan orang tua akan masa depan anaknya serta harapan anak itu sendiri. Orang tua harus dapat mendidik anaknya agar dapat memberikan penghargaan yang tepat terhadap uang dan pencariannya, disertai pula pengertian kedudukan ekonomi keluarga secara nyata, bila tahap perkembangan anak telah memungkinkan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Fungsi dan peran orang tua pada anaknya antara lain menanamkan kehidupan beragama, memberikan pendidikan dalam masa perkembangan anak, menjadi penghubung dalam kehidupan sosial anak, dan memberikan nafkah secara ekonomi demi keberlangsungan anak.

Senantiasa Berkata Baik

oleh Irwan Nuryana Kurniawan.


”Bu, aku jadi ingin tahu, kenapa sih ibu dan ayah sering bilang sayang, shaleh, dan pintar sama aku, adek Hasany dan adek Rasikh?” Tanya Aulia pada ibunya.

“Akh, yang benar, kak?” tanya Ibu seakan tidak percaya.

“ Masa sih, ibu lupa, ya? Setiap kali mengingatkan aku untuk belajar, ibu bilang,”Aulia sayang, ayo sekarang waktunya baca buku pelajaran untuk besok hari. Insyaallah besok menjadi hari-hari yang menyenangkan begitu masuk sekolah karena sudah tahu kira-kira apa yang akan dijelaskan bapak ibu guru. Kalau ada yang belum jelas setelah membaca buku pelajaran hari ini, Mbak Lia kan tinggal meminta penjelasan sama bapak ibu guru. Bisa jadi bahan diskusi di kelas dan suasana kelas menjadi lebih ramai”.

Setiap kali mengajak aku, Hasany, dan Rasikh untuk sholat berjama’ah di mushala rumah, ibu selalu bilang, “Anak-anakku sayang yang shaleh semuanya, alhamdulillaahirabbil’aalamiin sekarang waktunya shalat sudah tiba. Ayo, segera ambil wudhlu, kita mau ketemu sama Allah Subhanahuwata’ala, sayang. Bertemu Allah Ta’ala yang selalu menyayangi kita, selalu melindungi kita, senang mendengarkan dan mengabulkan setiap orang yang berdo’a kepada-Nya.”

”Iya, kakak Lia benar, Bu. Ayah juga begitu, Bu.” Ujar Hasany dan Rasikh bersamaan. ” Coba, hampir setiap hari kan ayah ngirim SMS sama kita,”Rasikh, Hasany, Aulia dan Ibu sayang, sudahkah hari ini membaca Al Qur’an?” Kok pakai kata-kata sayang, sholeh, dan pintar segala? Kenapa sih, Bu? ”

”Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Anak-anak Ibu dan ayah memang sholeh-sholeh dan pintar-pintar semuanya. Senang bertanya, itu bukti nyata dari Allah Ta’ala bagi ibu dan ayah, bahwa kalian memang anak-anak yang pintar. Anak yang pintar itu kan ciri dari anak sholeh dan pasti akan ditinggikan derajatnya oleh Allah Ta’ala.

”Apa yang Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh rasakan setiap kali ibu dan ayah bilang sayang, sholeh, dan pintar?” Ibu balik bertanya sama Aulia.

“Yang jelas aku senang saat dipanggil seperti itu, Bu.” jawab Aulia.

”Benar, Bu. Hasany merasa ibu dan ayah benar-benar sayang sama aku,” jawab Hasany.

”Kalau aku merasa diperhatikan,” jawab Rasikh tidak mau ketinggalan.

”Terus, setelah merasa senang, merasa disayang, dan merasa diperhatikan oleh ibu sama ayah, apa yang muncul dalam pikiran Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh?” tanya Ibu.

”Karena merasa senang, aku pikir aku pasti bisa dan alhamdulillaahirabbil’alaamiin ternyata memang aku bisa mengerjakan dengan baik, Bu. Alhamdulillaah aku jadi pede abis, Bu, percaya diri. Aku jadi lebih bersemangat kalau melakukan sesuatu.”Jawab Aulia

”Aku jadi lebih berani, Bu. Sekarang aku berani , tidak perlu ditungguin Ibu lagi saat aku sekolah. Aku bermain bersama teman-teman. Aku punya banyak teman dan mereka senang main sama aku.”Jawan Hasany

”Kalau Rasikh tambah semangat dan tambah yakin, Bu, Rasikh bisa jadi anak sholeh, pintar dan penyayang seperti yang sering ibu bilang sama Rasikh, Mas Hasany, dan Mbak Lia.”Jawab Rasikh dengan mantap

”Nah, Alhamdulillah, sekarang terjawab toh pertanyaannya, kenapa ibu dan ayah sering berkata-kata sayang, sholeh, dan pintar sama Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh. Kata-kata baik yang ibu dan ayah ucapkan tersebut mempengaruhi perasaan, pikiran, dan perilaku Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh. Perasaan, pikiran, dan perilaku baik yang ditampilkan Mbak Lia, Mas Hasany, dan Mas Rasikh juga membawa pengaruh baik pula terhadap orang-orang dan lingkungan dimana kita tinggal. Jadi kata-kata baik yang kita ucapkan membawa pengaruh yang baik, bukan hanya pada diri sendiri, keluarga kita, tapi juga pada lingkungan yang lebih luas”

”Ibu jadi ingat sama cerita yang pernah disampaikan ayah saat mengajar di kelas. Sebuah penelitian eskperimen yang dilakukan oleh Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson tahun 1968 pada anak-anak Sekolah Dasar. Mereka berdua memberikan sebuah test kecerdasan pada murid-murid SD tersebut dan kemudian menyampaikan hasilnya pada para guru kelas bahwa sejumlah anak memiliki kecerdasan yang luar biasa (padahal kecerdasan anak-anak tersebut sebenarnya berada pada tingkat kecerdasan rata-rata).

Pada akhir tahun kedua peneliti ini kembali ke SD tersebut dan melakukan pengetesan kembali pada murid-murid SD tersebut. Ternyata hasilnya cukup mengejutkan: anak-anak yang sebenarnya punya kecerdasan rata-rata tapi kemudian diberitahukan sebagai anak-anak dengan kecerdasan luar biasa, menunjukkan peningkatan skor kecerdasan yang lebih tinggi daripada anak-anak lainnya. Para guru kelas di SD tersebut rupanya memberi perlakuan yang lebih kepada anak-anak yang dilabeli kedua peneliti tadi sebagai anak-anak dengan kecerdasan luar biasa: lebih banyak mendapat perhatian, lebih sering mendapat pujian, lebih sering dimintai pendapatnya, dst. Perlakuan lingkungan yang demikian memotivasi anak-anak tersebut untuk menjadi seperti apa yang dilabelkan kepada mereka”

”Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, terima kasih, Bu. Kakak jadi ingat pada pelajaran yang disampaikan pak guru di sekolah. Kata pak guru, Allah Subhanahuwata’ala membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Waktu itu pak guru menjelaskan kalimat yang baik adalah segala ucapan yang menyeru kepada kebajikan, perbuatan yang baik, dan mencegah dari kemungkaran.

Kakak sekarang lebih paham dan merasakan sendiri mengapa Allah Subhanahuwata’ala senang sekali sama hamba-hambanya yang berkata-kata baik. Subbhanallah walhamdulillah walailaha illallah wallahu akbar. Do’ain aku, Hasany, dan Rasik, ya, Bu, ya Yah, untuk lebih bersungguh-sungguh menjauhi perkataan yang buruk dan lebih sering berkata-kata yang baik, biar kita semua baik, orang lain juga baik dan pastinya disayang Allah Subhanahuwata’ala.”

”Allahumma aamiin. Alhamdulillaahi rabbil’aalamiin. Benar, sayang. Apalagi bagi kita sebagai seorang muslim, perkataan yang baik bernilai sedekah dan menjauhkan kita dari kebinasaan. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Sedekah berupa perkataan baik kalau dapat diumpakanan seperti orang yang menginfaqkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.”

Alhamdulillaahirabbil'aalamiin, Prumpung 25 Desember 2011.

Serba-serbi Mengasuh Anak

Oleh Irwan Nuryana Kurniawan.


Apa yang dirasakan teman-teman ketika mengasuh anak? Mungkin ada menjawab biasa saja tuh. Tidak ada yang spesial. Bahkan saking biasanya, mungkin tidak merasakan apa-apa sama sekali. Tahu-tahu, lho anaku wis gedhe. Tahu tahu anaknya wis pacaran dan minta dinikahkan. Hi hi hi.
Mungkin juga ada mengatakan stress. Ya, stress mengasuh anak. Kesal, gonduk, inginnya marah melulu setiap melihat anak. Habis, anaknya "susah" diatur, disuruh belajar tidak mau--ha ha ha, padahal mungkin saja kita dulu seperti itu, lebih parah, kali. Itu baru yang rutin. Ya, rutinitas sehari-hari mengasuh anak.
Intensitas stress biasanya meningkat kalau lagi musim-musim ujian. Apalagi menghadapi mahluk monster yang menyeramkan yang dinamakan Ujian Nasional--begitu sebagian orangtua menyebutnya demikian. Seram karena katanya UN menentukan masa depan anak, begitu katanya--bagi yang kurang sepakat mungkin akan bertanya,"Masa Depan? Masa Depan yang mana? Masa Depan mendapatkan sekolah yang terbaik, yang seringkali dipersempit lagi menjadi sekolah favorit? Memang kalau mendapatkan sekolah favorit, itu akan menjamin kemuliaan anak kita di sisi-Nya, membanggakan kita di hadapan-Nya kelak?.
Semua instansi terkait dalam keluarga--he he he--mulai ayah, ibu, adik, kakak, bibi, mamang, kakek, nenek--ikut riweuh, sibuk. Sibuk ngomeli anake soale ra ngerti melulu setiap kali diajari dan ditemani belajar, sibuk membelalakan mata dan menaikan volume suara setiap kali anak malas mengerjakan latihan soal, sibuk membelikan buku-buku soal latihan biar dilalap habis sama anaknya. Oh iya, hampir lupa, sibuk mengantar anak ke bimbingan belajar--Lho, katanya sekolah favorit, kok masih dikirimkan ke bimbingan belajar, ya?
Mungkin juga ada yang menjawab antusias saat mengasuh anak-anak. Berharap-harap cemas segera pulang ke rumah menemani anak bermain, menjadi kuda tunggangan bagi anaknya, menanyakan dengan penuh rasa ingin tahu apa terjadi seharian dengan mereka, menjawab dengan penuh semangat setiap pertanyaan yang diajukan anak dan kadang-kadang membuat kita terhenyak tidak bisa menjawabnya. Betul-betul tidak bisa menjawabnya.
Saya percaya masih ada banyak jawaban atas pertanyaan tersebut di atas. Bisa campuran jawaban di atas, bisa juga perluasan dari salah satu atau salah dua jawaban di atas. Tentu saja, semua jawaban di atas benar dan tidak mempengaruhi nilai teman-teman semua--ha ha ha jadi ingat belajar konstruksi test tentang panduan pengantar pengisian kuesioner.
Stimulusnya sama, responnya berbeda. Ya, stimulusnya sama, yaitu anak. Tapi ternyata variasi pengasuhan orangtua cukup besar. Mungkin kita perlu melihat kembali visi pengasuhan yang selama ini kita yakini dan membuat kita terjebak pada rutinitas pengasuhan. Mungkin kita perlu mempertanyakan kembali harapan-harapan terhadap anak kita, yang bisa jadi kurang realistis dan tidak sesuai dengan tahapan perkembangannya, sehingga membuat kita rentan mengalami stress pengasuhan dan mensikapi permasalahan pengasuhan dengan kurang tepat. Mungkin kita perlu menguatkan dan memperkaya keterampilan pengasuhan yang sudah dimiliki sehingga kita memiliki resources yang memadai untuk memberi pengasuhan yang terbaik buat anak kita.

Alhamdulillaahirabbil'aalamiin. Prumpung, 9 Desember 2011.