Sunday, January 8, 2012

Jebakan " Tidak Pernah" dan "Selalu"...?

oleh Irwan Nuryana Kurniawan.
"Alkisah. Ibu guru TK merasa mempunyai persoalan pada salah satu anak didik di TK tempat beliau mengajar. Setiap kali melakukan tugas, dia tidak pernah dapat diselesaikan. Dia selalu tertiggal dengan teman-temannya dan bahkan tidak mampu mengerjakannya dengan baik sesuatu yang seharusnya bisa dilakukan untuk anak seusia dia (5 th). Dia gampang sekali berkata “Capek Bu …”, “Kesel Bu …”, “Aku kerjakan di rumah saja Bu …”, sebagai alasan."

Ada beberapa hal yang perlu kita jawab lebih dahulu. Pertama, benarkah anak tersebut TIDAK PERNAH menyelesaikan tugasnya? Jika ya, berarti selama menjadi siswa di TK, anak didik tersebut satu kalipun sama sekali belum pernah mengerjakan tugasnya secara tuntas.

Tidakkah dia sesungguhnya pernah sekali atau dua kali mengerjakan tugas yang sangat sederhana sampai selesai, namun belum sesuai dengan harapan kita? Kedua, benarkah anak tersebut SELALU tertinggal dibandingkan teman-temannya? Apakah dia SELALU nomor terakhir untuk semua aktivitas yang diikutinya? Tidakkah dia pernah nomor dua, tiga, empat dari belakang atau bahkah lebih baik untuk aktivitas tertentu?

Pemakaian kata TIDAK PERNAH dan SELALU untuk aktivitas yang dilakukan siapapun, apalagi anak-anak, perlu dilakukan dengan sangat hati-hati. Pemakaian kata TIDAK PERNAH dan SELALU menggambarkan seolah-olah sang anak tidak pernah sedikitpun menunjukkan kemajuan ataupun perbaikan dari aktivitas yang dilakukannya. Seolah-olah tidak ada satupun yang bisa dibanggakan dari sang anak.

Jika ini terus menerus dilakukan, dampaknya sangat berbahaya. Bagi guru maupun bagi anak. Guru akan mudah sekali menderita stress karena tidak mampu secara objektif melihat kemajuan/perubahan, meskipun hanya sedikit, yang ditunjukkan sang anak. Sementara sang anak akan merasa tidak ada satu pun yang membanggakan dari dirinya. Tidak ada yang mengapresiasi atas sedikit kemajuan/perubahan yang ditunjukkannya. Ini membahayakan self esteem (harga diri) anak.

Pada tingkatan tertentu anak akan mengembangkan ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness). Anak akan sampai pada keyakinan bahwa apapun yang dia lakukan tidak akan mengubah apa-apa. Sekeras apapun usaha yang dia tunjukkan, lingkungan akan selalu menganggap dirinya tidak mampu dan tidak layak.

Mungkin langkah terbaik yang bisa kita lakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah mencari tahu mengapa anak berperilaku demikian. Cara terbaik adalah mengajak anak yang bersangkutan berbicara dari hati-ke-hati. Dari pembicaraan tersebut akan muncul banyak sekali informasi, kadang-kadang di luar dugaan kita, mengapa dia merasa capek, bosan, atau ogah-ogahan mengikuti aktivitas kelas yang kita selenggarakan.

Mungkin saja secara objektif anak yang bersangkutan saat itu memang kondisi tubuhnya sedang tidak enak badan. Mungkin juga secara objektif anak memang merasa aktivitas yang diikutinya membosankan—monoton. Mungkin juga secara objektif anak menilai aktivitas-aktivitas yang harus dilakukannya terlalu banyak dan tidak tahu nilai/keterampilan apa yang akan mereka dapat dari seabrek aktivitas tersebut. Apalagi aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan tanpa ada unsur bermain. Dan masih banyak kemungkinan objektif lainya—tergantung keahlian kita dalam menggali informasi yang bermakna dari mulut anak.

Langkah selanjutnya adalah mencari berbagai pilihan penyelesaian yang relevan dengan akar permasalahannya. Berbagai pilihan penyelesaian tersebut kemudian kita coba untuk diketahui apakah efektif atau tidak dalam menyelesaikan permasalahan. Efektif tidaknya pilihan yang diterapkan tersebut akan memberi umpan balik yang sangat berharga bagi kita maupun anak-anak.

Di tahapan inilah kita perlu sekali untuk memberikan apresiasi terhadap setiap kemajuan/perubahan yang ditunjukkan oleh anak. Meskipun hanya satu tingkat, misal dari peringkat 30 (terbawah) naik menjadi 29. Di tahapan ini pula kita sebagai guru perlu mencari tahu lebih lanjut hal-hal apa saja yang mungkin berperan mengapa percepatan perubahan yang ditunjukkan sang anak belum sesuai dengan target yang kita tetapkan.

Alhamdulillaahirabbil'aalamiin. Prumpung, 30 Desember 2011

No comments:

Post a Comment